Perjuangan Nasima, Putri Rumah Bordil

Ia lahir dan besar di kompleks pelacuran. Melawan perdagangan manusia, dia jadi pahlawan

Dulu, ia harus berusaha keras menyembunyikan latar belakangnya, yang bagi sebagian orang adalah aib, demi bisa mendapatkan pendidikan di sekolah. Kini, dengan kepala tegak, Nasima menyebut dengan lantang identitasnya: “Aku Nasima, putri rumah bordil.”


Nasima, kini 32 tahun, menghabiskan hampir seluruh hidupnya di kompleks prostitusi Chaturbhuj-sthan yang diyakini para sejarahwan sudah ada sejak era Moghul--di mana prostitusi telah menjadi seperti tradisi, diturunkan dari generasi ke generasi. Pernah terjebak di dalamnya, Nasima justru lalu menjelma sebagai penyelamat.

Seperti dimuat Al Jazeera, 29 Juni 2011, seorang pembuat film India, Gautam Singh, menceritakan pertemuannya dengan Nasima--yang lalu mengilhaminya membuat film dokumenter berjudul "Daughters of The Brothels". Perjumpaan itu diawali dari ketertarikan Singh pada majalah setebal 32 halaman, Jugnu, yang diterbitkan sebulan sekali oleh pekerja seks di lokalisasi Chaturbhuj-sthan di Bihar, dekat perbatasan dengan Nepal, selama 10 tahun terakhir.

“Penasaran, saya menghubungi majalah itu dan mendapatkan informasi tentang sosok wanita luar biasa di belakangnya,” kata Singh.

Majalah itu didirikan seorang bernama Nasima, yang lahir di dalam kompleks Chaturbhuj-sthan. Tak pernah mengenal ayahnya, ditinggalkan ibunya, Nasima dibesarkan oleh seorang wanita yang dia sebut 'nenek'--meski sama sekali tak ada hubungan darah dengannya. Sang Nenek menyisihkan hasil dia menjual tubuhnya untuk menyekolahkan cucu angkatnya itu. Nasima pun menjadi gadis pertama di komplek pelacuran itu yang mengenyam pendidikan, dalam kurun waktu 300 tahun.

Ketika kembali ke Chaturbhuj-sthan, Nasima tak lagi menjajakan diri. Dengan bantuan sebuah bank lokal, ia mendirikan industri kecil di dalam rumah bordil--pembuatan lilin, bindi, korek api, dan dupa. Dia menawarkan alternatif pekerjaan selain melacur. Dia juga membujuk para pekerja seks untuk menyekolahkan anak mereka. “Sekarang hampir setiap anak di Chaturbhuj-sthan memperoleh pendidikan,” kata Singh.

Lebih dari 50 mantan pelacur sekarang bekerja dengan Nasima--yang mengajari mereka bagaimana membaca dan menulis. Mereka bersama lalu menerbitkan majalah. Tak hanya itu, kelompok Nasima juga berjuang melawan perdagangan perempuan, terutama gadis-gadis malang dari Nepal dan Bangladesh. Pada tahun 2010 mereka berhasil mengirim pulang 20 korban anak perempuan dengan selamat.

Tentu saja, ini bukan pekerjaan mudah. Nasima dan kawan-kawannya harus berhadapan dengan kepala rumah bordil yang terancam bangkrut gara-gara aksinya itu. Preman pun dikirim untuk memukuli dan melecehkan kelompok Nasima. Mucikari, polisi, termasuk tokoh agama, masuk dalam daftar orang-orang yang harus diwaspadai Nasima.

Kagum akan sepak terjang Nasima, Singh memutuskan untuk membuat film dokumenter. Dia pun membentuk sebuah kru berjumlah kecil, dilengkapi kamera ringan agar bisa kucing-kucingan dengan preman. Dari kelompok Nasima, kru mendengar kisah tragis Boha Tola, daerah lampu merah di Sitamarhi yang sengaja dibakar. Sumber tidak resmi mengatakan setidaknya 100 wanita, pria dan anak-anak hilang, mungkin hangus terbakar.

Dari situ muncul berbagai cerita mengerikan, bagaimana warga dilempar hidup-hidup ke api yang berkobar, termasuk serangkaian kekerasan seksual. Mereka memang tidak pernah resmi terdaftar sebagai penduduk, tapi tidak ada upaya dilakukan untuk mencari tahu apa yang terjadi pada mereka. Beberapa perempuan dari Chaturbhuj-sthan melakukan mogok makan untuk menunjukkan solidaritas mereka. Namun para demonstran justru dilempar ke penjara.

Sepak terjang Nasima juga pernah dimuat Indian express.com, saat ia meyakinkan pejabat, polisi, dan para pemuka agama bahwa program rehabilitasi ala pemerintah tak akan efektif melawan prostitusi. Solusi jitu, menurut dia, adalah dengan menyejahterakan mereka. Di depan para pejabat ia mengungkapkan, para PSK dipaksa membayar suap ke anggota polisi sebesar 2.000 hingga 3.000 rupee. Atass jasanya, kini setiap rumah memiliki telepon pejabat polisi yang siap menerima pengaduan kapanpun.

Nasima juga membuka lembaga pendidikan di rumahnya di Jalan Shukla, di tengah kawasan prostitusi. Ini pendidikan persiapan selama enam bulan yang memungkinkan murid putus sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke akademi. Nasima pun ikut kursus ini.

Perempuan luar biasa ini juga meyakinkan perusahaan asuransi untuk menyediakan skema asuransi dengan premi minimum. Besarnya hanya 25 rupee per minggu. Saat berencana menikah, Nasima mengundang kekasih dan keluarganya ke Chaturbhuj-sthan--agar mengetahui dengan jelas asal-usulnya. Ternyata, tak ada satupun pihak yang keberatan. "Aku tak pernah menyesali identitas dan masa laluku," katanya.

Sumber : fokus.vivanews.com
Bagikan artikel ini :

0 comments:

Speak Your Mind

Tell us what you're thinking...
and oh, if you want a pic to show with your comment, go get a gravatar!

 

© Copyright Martins Blog 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.